Mencoba menembus dan menyusup diantara doktrin - doktrin yang ditanamkan oleh bang Fi. Mungkin suatu keberanian dari diriku untuk sedikit berargumen di dunia yang penuh dengan representasi yang berbeda – beda. Argumen yang tidak jauh dari kehidupan yang mungkin aku lewati dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini. Suatu pernyataan mengenai hal yang dahulu tak pernah sedikitpun melintas dalam konsep pemikiranku. Namun sekarang mau tidak mau konsep pemikiran ini hadir dalam ronta kehidupanku, konsep pemikiran mengenai wacana – wacana tentang seni (rupa). Wacana tentang seni merupakan suatu upaya membawa pemahaman yang luas tentang karya ciptaan manusia. Wacana yang uraikan bukanlah suatu gerbang pemahaman yang baru, tapi merupakan bentuk sumbangan pemikiran yang pernah diciptakan oleh pemikir – pemikir yang hidup di periode yang berbeda dengan kita di masa lalu. Mungkin hal demikian takkan terlintas dalam angan – anganku, jikalau aku tidak bernaung dalam payung pendidikan seni rupa. Tak banyak orang disitu yang sepenuhnya rela mengorbankan otaknya, jiwanya, dan raganya demi memaknai sebuah susunan dua kata yang cukup aneh yaitu “seni rupa”. Susunan dua kata yang memiliki arti berbeda ini menimbulkan suatu kegelisahan baru didalamnya, gelisah merupakan suatu cara untuk merepresentasikan suatu makna yang tidak sejalan dengan apa yang kita harapkan, dan ketidak sejalanan ini menimbulkan suatu upaya untuk berusaha meniadakan suatu harapan yang tak sejalan tersebut. Dua kata tersebut memiliki dikotomi makna (mungkin) atau mungkin polykotomi, tinggal bagaimana cara memaknai dua kata yang berbeda tersebut. Tapi setelah kata tersebut dihubungkan dan dijadikan satu, maka kedua kata tersebut membuat suatu pemahaman dan pengertian baru.
Dimulai dari paragraf yang baru, dalam hal yang berkaitan dengan seni, sebenarnya kita semua merupakan penikmat seni atau publik seni (seni apapun) setiap saat kita dapat merasakan hal yang berkaitan dengan seni seperti menikmati musik, lagu, atau sinetron barangkali (seperti yang diungkapkan oleh robet dan agung mungkin: one nation under sinetron) itu semua merupakan wujud dari seni. Pertanyaannya, sebenarnya seni itu sendiri apa? Apakah seni merupakan suatu pembebasan hasrat seperti yang dikatakan Schopenhauer? Apakah seperti yang diungkapkan Nietzsche seni merupakan keinginan untuk mencapai kekuasaan, ataukah seperti yang dikatakan oleh kebanyakan orang seni itu sama dengan keindahan (estetika berarti)?
Mungkin sangat luas dan beragam, makna dari seni itu sendiri, tak lain dan tak bukan kembali kepada kita sendiri bagaimana kita dapat memaknai seni itu sendiri. Orang yang berlatar belakang yang berbeda, memaknai tentang seni tidak sama. Padahal orang yang memiliki latar belakang yang sama saja memaknai seni sudah sangat berbeda. Sebagai contoh seperti yang terdapat di sekitar saya, karena saya hidup dalam lingkup seni rupa maka yang akan saya jadikan contoh adalah koloni – koloni yang terdapat di seni rupa. Di pendidikan seni rupa misalnya (tapi kenyataan nyata), dilihat secara kasat mata tekstur dari atom – atom yang terdapat dalam senyawa seni rupa memiliki tekstur dan susunan senyawa yang berbeda – beda. Tekstur – tekstur tersebut diantaranya yaitu memiliki tampilan yang berbeda yaitu: ada yang berwujud low profile, high profile, necis, muslimin muslimat rokhimakumullah, rasta reggae, gimbal, gundul, gondrong ngarep mburi, jilbab kene terus nengkene wae jilbabe, maupun banyak juga yang berpenampilan hot hehe,,. Seni itu katane indah, tapi ko rambut semprawut ra indah blas (kata kebanyakan orang), apakah itu yang namanya seni? Terus sebaliknya, seni itu dilihat dari penampilannya, harus beda ma yang lain, kudu ngene kudu ngono, yang penting karyanya bro..... (padahal karyane yo ra ono). Entahlah apa kata mereka tentang seni.
Lebih jauh lagi tentang hal yang berupa seni, seperti yang dikatakan kebanyakan orang tadi : seni itu indah (estetik). Padahal antara seni dan keindahan itu merupakan suatu hal yang sudah cukup berbeda. Hal mendasar yang menjadi pembeda antara seni dan keindahan adalah seni sendiri tidak dibatasi oleh keindahan. Karena keindahan itu sendiri memiliki katogori tersendiri dalam pemaknaannya yaitu subjekti dan objektif. Keindahan subjektif merupakan keindahan yang ada pada mata memandang sedangkan objektif merupakan keindahan pada benda yang dilihat. Untuk memperjelas maksud dari seni tidak dibatasi oleh keindahan adalah sebagai berikut, dalam kenyataannya karya seni tidak hanya berupa objek – objek yang indah (estetik) saja, tetapi berupa ungkapan – ungkapan ekspresi perasaan yang memiliki nilai seni. Seperti contoh lukisan, lukisan yang merupakan salah satu karya seni tidak selalu berupa pemandangan dan objek yang indah. Melainkan dapat berupa objek – objek racetho, ra nggenah, ra mutu, nduwe isin, sak – sake tok. Meskipun demikian mereka menyebut bahwa karya tersebut merupakan karya seni, disini jelas sekali bahwa seni itu tak selamanya indah. Mulakne yo cah ojo ngecrohi karyane p. N****g, kui ki yo karya seni cah ! koe ki kalah eksis karo beliau, paham ! (tenang pak tak bela sitik, masalahe njenengan PA q). Dari sini dapat dilihat bahwa memaknai sesuatu bukanlah dari kondisi fisik saja, melainkan harus menelaah lebih dalam lagi tentang sesuatu yang kita nilai tersebut. seperti halnya janganlah membandingkan lukisan realis dengan abstrak, karena memang hal tersebut tidak akan bisa bersatu. Menilai realis harus dengan levelnya yaitu realis juga, abstrak juga harus dinilai dan dibandingkan dengan yang abstrak pula. Dan pada akhirnya janganlah membandingkan wajah realis dengan wajah absrak karena memang tak sebanding, realis dengan realis dan abstrak harus dengan abstrak. Membandingkan/mensejajarkan sesuatu yang bertentangan jelas sesuatu tindakan yang bodoh.
Mungkin dari USSR (United State of Seni Rupa) sudah tau makna yang berbeda antara seni dan indah, tapi akeh sing rung ngerti ketokne. Sekarang tinggal menunggu pendapat dari makhluk – makhluk lain diluar seni rupa yang tentang seni rupa itu. Mungkin bagi kita yang telah terjerumus dalam lembah seni rupa, sudah tau betul tentang dunia yang dihadapi. Apakah seandainya kalian tidak masuk kedalam seni rupa apakah masih mungkin melirik dunia seni rupa? Dan bagaimana menurut kalian diluar sana tentang seni rupa? Baikkah, burukkah, bodohkah, anehkah, ra mberjajikah, payahkah, hebatkah? Terserah persepsi kalian tentang seni rupa.
Sekarang tinggal kita yang sudah terlanjur basah oleh cipratan – cipratan air seni rupa apakah tetap mampu bertahan dengan cipratan – cipratan tersebut ataukah sekalian malah nyemplung kedalamnya. Dalam lembah yang penuh dengan air seni rupa tersebut mari bersama - sama membangun dan mempertahankan idiom maupun paradigma yang telah kita miliki tentang seni rupa ini, ataukah mungkin yang tak tahan dengan cipratan – cipratan tersebut berusaha keluar dan meronta tak tahan dari lembah ini tanpa membawa sesuatu dengan segala resikonya. Resiko yang menurutnya baik atau buruk, sebenarnya harapan yang muncul adalah, keluar dari lembah tersebut sambil membawa segenggam amarah seni rupa untuk di lempar kedunia permukaan. Dan menanamkan benih – benih kesenian yang mampu mendobrak rasa gelisah tentang seni rupa.
Cukup salut dengan apresiasi spesies – spesies av-art-abrata makhluk yang tak bertulang kesenian, (seperti orang yang bilang big eyes mungkin ) dan para penikmat seni lain yang rela meluangkan waktu untuk mengapresiasikan diri dalam stiap pameran – pameran senirupa di TBS, GKS, Sujatmoko, dll. Apakah hal seperti ini mungkin tidak kita lakukan seandainya tak terlempar kedalam lembah seni rupa? Yang telah masuk kedalam lembah seni rupa pun jarang untuk mencoba mengapresiasi karya orang lain. Disini (FKIP Seni Rupa) kita dipertemukan dengan segala alasan dan kondisi yang berbeda, nasib dan takdir yang berbeda pula, meskipun demikian mari secara sukarela ataupun terpaksa bersama – sama membangun lembah tersebut menjadi negara artlantis, negara seni rupa dan jangan sampai negara tersebut tenggelam oleh liarnya lautan zaman.
Dan harapan terakhir menunggu geliat seni rupa ditanah solo ini sepenuhnya, solo spirit of art.
Hiduplah dengan perasaan yang penuh dengan kegelisahan (doktrin dari mr. Tjahjo), karena dengan gelisah maka kalian akan terus melakukan proses kreatif dan kreativitas pada akhirnya.
Aku hanya menyusun dan membolak balik atau mengulang huruf – huruf saja, tak berniat menjelaskan, mengkomunikasikan, mempersepsikan, merepresentasikan atau mendoktrinisasi. Silahkan dimaklumi
Kita tidak lagi mencintai pengetahuan kita, setelah kita mengkomunikasikannya
Mari para rupawan dan rupawati tunjukkan tajimu, luapkan kegelisahanmu, tunjukkan bahwa seni rupa bukan hanya sebagai penyedap rasa saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar